Well, I could say my life would be easier without cats.
Ya, memelihara kucing tak semudah yang dibayangkan.
Sudah setahun sejak saya pertama memutuskan untuk merawat kucing liar yang melahirkan di rumah saya.
Sudah berbagai fase pula saya lewati bersama kucing-kucing saya.
Mulai dari kelahiran, kematian, sakit, hingga kebahagiaan bersama.
Jika mau melihat secara negatif,
sejak saya memelihara kucing, sering sekali kucing-kucing di rumah tertimpa musibah.
Tak jarang ibu saya mengeluh sudah tak tahan mengurus semua kucing itu karena sakit dan biaya makan+perawatan yang tak murah.
Setiap tahunnya pasti adaaa saja yg sakit.
Belum lagi dua kucing saya yang terlindas oleh kendaraan yang lewat di depan rumah.
Setelah saya kalkulasikan semua kejadian itu, rasanya saya ingin bertanya pada Tuhan,
apakah saya membawa sial untuk makhluk-makhluk lucu itu?
Karena musibah tak henti-hentinya menghampiri kami.
Pagi ini, trouble comes again.
Hachiko tak pulang sejak semalam.
Diantara ke-7 kucing di rumah, Hachiko adalah kucing yang paling tertib.
Ia tidak pernah keluyuran melebihi waktu yang biasanya.
Ia selalu pulang ketika jam makan.
Namun, pagi ini Hachiko tidak pulang hingga jam 9 pagi.
Saya pun mulai gelisah.
"Kemana Hachiko?" pikir saya.
Saya mencari mondar-mandir seperti orang gila sepanjang jalan depan rumah.
Karena saya tahu, Hachiko tak pernah main jauh.
Di ujung jalan, saya mendengar suara kucing berteriak.
"Haooooh, haooh"
Suaranya seperti kucing yang sudah dewasa.
Jauh dari suara Hachi yang saya kenal.
Saya sempat ragu, apakah itu Hachi.
Tapi, ketika saya panggil namanya, suara kucing itu tak muncul lagi.
"Ah, mungkin bukan Hachi. Mungkin itu kucing jantan dewasa yg sedang mencari pasangan," pikir saya.
Saya pun terus gelisah.
Namun, tak tahu lagi harus mencari kemana.
Saya pasrah.
Dan seketika itu, tiba-tiba seekor kucing yang basah kuyup tercebur air melompat masuk melewati pagar saya.
Mukanya bengap seperti petinju yang habis babak belur dipukuli lawan.
Matanya nyaris terbuka, susah sepertinya untuk mengangkat kelopak.
Sekujur tubuhnya bau amis seperti habis bergumul dengan ikan-ikan sepanjang malam.
Saya tak kenal dia.
Siapa dia?
Apakah itu Hachi?
Tapi mukanya jauh dari Hachi yang saya kenal.
Tapi dia lari ke rumah saya seolah tahu inilah tempat aman yang ia cari.
Kebingungan itu sejenak berkecamuk di kepala saya.
Namun, saya langsung bergegas memanggil pembantu saya untuk memastikan apakah ini Hachi atau bukan.
"Iya, ini Hachi, Teteh. Ayo mandiin!!" seru pembantu saya.
Kami berdua panik.
Ternyata itu Hachi yang sedari tadi saya cari.
Hidung dan matanya bengkak dan terluka.
Begitu juga jari-jari tangan dan kakinya.
Rupanya dia terkena hipotermia.
Mungkin terlalu lama terjebak dalam kolam ikan.
Itulah skenario yang paling cepat tersirat di benak saya.
Tapi bukan itu yang harus saya lakukan sekarang.
Pertama-tama, saya dan pembantu saya bergegas memandikannya dengan air hangat.
Ya, badannya yang kedinginan harus segera dicuci bersih.
Kedua, saya memberinya makan dan air hangat beserta madu.
Ia masih nampak kebingungan namun mau makan dengan lahap seolah sudah setahun tak menjumpai makanan.
Oh, Hachiko. Kenapa lagi ini?
Sekarang, saat saya menulis semua cerita ini, Hachiko sedang beristirahat.
Ia saya taruh di tempat terbuka yang terkena sinar matahari.
Badannya masih gemetar.
Wajar, mengingat sejak semalam ia terjebak di tempat yang saya tak tahu itu apa.
Yang jelas, tempat itu bau amis dan penuh air.
Saya harap Hachiko bisa pulih kembali.
Terutama wajahnya.
Saya berdoa semoga ia bisa melewati semua ini dan kembali seperti sedia kala.
Setelah berbagai cobaan menghampiri saya dan kucing-kucing saya.
Saya merasa semakin dekat dan sayang pada mereka.
Memang paling mudah melihat ini sebagai sebuah cobaan tiada henti dan kesialan yang bertubi-tubi.
Tapi, saya ingin belajar melihat apa yang orang lazim anggap kesialan sebagai sebuah pelajaran hidup yang dapat memperkaya pengetahuan saya dan mempererat hubungan saya dengan kucing-kucing saya.
Saya juga ingin menganggap semua peristiwa ini sebagai sebuah peringatan agar saya lebih berhati-hati dalam merawat ke-7 kucing saya.
We've been trough a lot.
Semoga tak ada lagi sakit, kematian, dan keburukan yang terjadi pada keluarga kucing kami.
May this be the last.
May we live happily together.
May we be healthy forever.
God, please give us protection.
Well, I could say my life would be easier without cats.
But, I don't want that easy life.
Sebagai pembanding, inilah wajah Hachi ketika sehat.
Dan ini wajahnya yang bengap setelah semalaman tercebur kolam.
(Mata+hidung bengkak, hidung, mulut, dan kaki luka karena terlalu lama terendam air)
Sudah berbagai fase pula saya lewati bersama kucing-kucing saya.
Mulai dari kelahiran, kematian, sakit, hingga kebahagiaan bersama.
Jika mau melihat secara negatif,
sejak saya memelihara kucing, sering sekali kucing-kucing di rumah tertimpa musibah.
Tak jarang ibu saya mengeluh sudah tak tahan mengurus semua kucing itu karena sakit dan biaya makan+perawatan yang tak murah.
Setiap tahunnya pasti adaaa saja yg sakit.
Belum lagi dua kucing saya yang terlindas oleh kendaraan yang lewat di depan rumah.
Setelah saya kalkulasikan semua kejadian itu, rasanya saya ingin bertanya pada Tuhan,
apakah saya membawa sial untuk makhluk-makhluk lucu itu?
Karena musibah tak henti-hentinya menghampiri kami.
Pagi ini, trouble comes again.
Hachiko tak pulang sejak semalam.
Diantara ke-7 kucing di rumah, Hachiko adalah kucing yang paling tertib.
Ia tidak pernah keluyuran melebihi waktu yang biasanya.
Ia selalu pulang ketika jam makan.
Namun, pagi ini Hachiko tidak pulang hingga jam 9 pagi.
Saya pun mulai gelisah.
"Kemana Hachiko?" pikir saya.
Saya mencari mondar-mandir seperti orang gila sepanjang jalan depan rumah.
Karena saya tahu, Hachiko tak pernah main jauh.
Di ujung jalan, saya mendengar suara kucing berteriak.
"Haooooh, haooh"
Suaranya seperti kucing yang sudah dewasa.
Jauh dari suara Hachi yang saya kenal.
Saya sempat ragu, apakah itu Hachi.
Tapi, ketika saya panggil namanya, suara kucing itu tak muncul lagi.
"Ah, mungkin bukan Hachi. Mungkin itu kucing jantan dewasa yg sedang mencari pasangan," pikir saya.
Saya pun terus gelisah.
Namun, tak tahu lagi harus mencari kemana.
Saya pasrah.
Dan seketika itu, tiba-tiba seekor kucing yang basah kuyup tercebur air melompat masuk melewati pagar saya.
Mukanya bengap seperti petinju yang habis babak belur dipukuli lawan.
Matanya nyaris terbuka, susah sepertinya untuk mengangkat kelopak.
Sekujur tubuhnya bau amis seperti habis bergumul dengan ikan-ikan sepanjang malam.
Saya tak kenal dia.
Siapa dia?
Apakah itu Hachi?
Tapi mukanya jauh dari Hachi yang saya kenal.
Tapi dia lari ke rumah saya seolah tahu inilah tempat aman yang ia cari.
Kebingungan itu sejenak berkecamuk di kepala saya.
Namun, saya langsung bergegas memanggil pembantu saya untuk memastikan apakah ini Hachi atau bukan.
"Iya, ini Hachi, Teteh. Ayo mandiin!!" seru pembantu saya.
Kami berdua panik.
Ternyata itu Hachi yang sedari tadi saya cari.
Hidung dan matanya bengkak dan terluka.
Begitu juga jari-jari tangan dan kakinya.
Rupanya dia terkena hipotermia.
Mungkin terlalu lama terjebak dalam kolam ikan.
Itulah skenario yang paling cepat tersirat di benak saya.
Tapi bukan itu yang harus saya lakukan sekarang.
Pertama-tama, saya dan pembantu saya bergegas memandikannya dengan air hangat.
Ya, badannya yang kedinginan harus segera dicuci bersih.
Kedua, saya memberinya makan dan air hangat beserta madu.
Ia masih nampak kebingungan namun mau makan dengan lahap seolah sudah setahun tak menjumpai makanan.
Oh, Hachiko. Kenapa lagi ini?
Sekarang, saat saya menulis semua cerita ini, Hachiko sedang beristirahat.
Ia saya taruh di tempat terbuka yang terkena sinar matahari.
Badannya masih gemetar.
Wajar, mengingat sejak semalam ia terjebak di tempat yang saya tak tahu itu apa.
Yang jelas, tempat itu bau amis dan penuh air.
Saya harap Hachiko bisa pulih kembali.
Terutama wajahnya.
Saya berdoa semoga ia bisa melewati semua ini dan kembali seperti sedia kala.
Setelah berbagai cobaan menghampiri saya dan kucing-kucing saya.
Saya merasa semakin dekat dan sayang pada mereka.
Memang paling mudah melihat ini sebagai sebuah cobaan tiada henti dan kesialan yang bertubi-tubi.
Tapi, saya ingin belajar melihat apa yang orang lazim anggap kesialan sebagai sebuah pelajaran hidup yang dapat memperkaya pengetahuan saya dan mempererat hubungan saya dengan kucing-kucing saya.
Saya juga ingin menganggap semua peristiwa ini sebagai sebuah peringatan agar saya lebih berhati-hati dalam merawat ke-7 kucing saya.
We've been trough a lot.
Semoga tak ada lagi sakit, kematian, dan keburukan yang terjadi pada keluarga kucing kami.
May this be the last.
May we live happily together.
May we be healthy forever.
God, please give us protection.
Well, I could say my life would be easier without cats.
But, I don't want that easy life.
Sebagai pembanding, inilah wajah Hachi ketika sehat.
Dan ini wajahnya yang bengap setelah semalaman tercebur kolam.
(Mata+hidung bengkak, hidung, mulut, dan kaki luka karena terlalu lama terendam air)
Regards,
3 comments:
omg hachiko si tukang pijet!
pasang chip aja Dah biar ketauan dimana posisi para kuciang.
mungkin ini pertanda biar udit masuk kedokteran hewan.
Hahaha..Tukang Pijet.
Iya Nien. Gw ga menyangka lingkungan komplek gw sebahaya itu buat maen kucing. Sekarang muka Hachi kaya orang abis suntik botox. Not cool.
Iya tuh. Si Udit udh gw paksa2 daftar ke IPB tp keukeuhnya ke sastra jepang UI. hahaha. Jejepangan mengalahkan segalanya.
yauda gampang kan kalo uda ada akses sastra jepang di ui haha. wah bojong bukan tempat kucing berarti nih. pindah gih ke lebih desa lagi :D
Post a Comment